Anak, Memancing, dan Bermain Layang-Layang! (Sebuah Kontemplasi di Hari Pendidikan Nasional 2018)

img

“Kita tidak mengetahui pengetahuan apa yang paling diperlukan anak kita di masa depan, oleh karena itu, tidak ada gunanya untuk mengajarkan sekarang. Sebaiknya kita membantu anak-anak kita untuk makin mencintai dan makin pandai belajar sehingga dapat belajar segala sesuatu pada saat membutuhkan.”(Holt, 1964, How Children Fail)

Sukses.

Manusia mana mana yang tak pernah mengidam-idamkankan kata ini? Meskipun ia bukan seorang pendidik? Ada hal menarik yang selalu membuat saya tersenyum plus terharu manakala melihat anak-anak didik saya saat berada di penghujung kelulusan pendidikannya. Ada rona kegembiraan terpancar dari wajah mereka. Ada nilai-nilai optimistis yang saya rasakan dari pegangan erat tangannya. Ya, mendidik adalah nilai plus bagi pribadi. Terlebih bagi mereka yang memahami makna dibalik tirai pendidikan itu sendiri.

Mendidik, bukan sekadar nilai prestisius yang mengangkat martabat pribadi pelaku. Mendidik adalah salah satu kewajiban terbaik dari beragam kewajiban baik yang lainnya, itu yang saya baca dalam sebuah buku. Jadi, ketika seseorang mendidik, sungguh ia telah menjalankan sebuah kewajiban yang disukai Tuhan pemilik semesta alam. Lewat pendidikan itulah pintu kesuksesan terbuka lebar.

Setiap zaman mempunyai masalah dan situasi yang berbeda. Masuknya era globaliasi  telah menjadi wajah dunia yang tak bisa dielakkan. Perkembangan dunia masuk tanpa batas negara dan budaya, seperti perkembangan dan kemajuan teknologi, pergeseran norma sosial. Lantas bagaimana cara yang harus dilakukan pendidik untuk mendidik anak didiknya?

Pendidik masa kini  dituntut  menghadapi tantangan yang cukup berat dalam mendidik anak didiknya. Salah satunya dituntut untuk mampu mempersiapkan anak didik yang kreatif, tangguh, dan punya tanggung jawab agar dapat bertahan dan mampu bersaing menghadapi berbagai tantangan yang akan terjadi.

Anak

Text Box: ____________________________________________________
*)Pendidik, Mahasiswa Program Doktor Manajemen Pendidikan UNMUL

Suatu saat, seorang pendidik terbaik yang pernah hidup di muka bumi ini, Nabi Muhammad SAW berjalan bersama beberapa sahabat. Ketika lewat di depan anak-anak yang sedang bermain dengan pasir dan sahabat melarang mereka, maka Nabi SAW bersabda, “Biarkan mereka bermain dengan tanah pasir itu, karena tanah pasir bagi anak adalah seperti musim semi.”

Dari sepenggal kisah di atas, bisa kita ambil hikmah betapa Nabi Muhammad SAW sebagai seorang pendidik terbaik di sepanjang zaman telah memberikan kita teladan untuk memahami karakteristik anak. Anak merupakan tunas-tunas bagi peradaban yang sedang kita tumbuhkan. Jika anak berkembang dalam persemaian di ladang pendidikan yang tepat, berarti kita membantunya menjadi pohon-pohon yang kokoh di masanya. Akarnya kuat mengakar di perut bumi, pohonnya lebat dan menjulang tinggi, serta ranum buahnya. Pendidikan mengantarkan manusia pada kesadaran visi dan misinya kehadirannya di dunia.

Pada awalnya pendidikan dimaksudkan untuk mendidik benih manusia agar anak manusia ini tumbuh menjadi seorang yang berakhlak tinggi dan mulia. Investasi manusia di sini berarti memanusiakan manusia, yaitu mengajarkan nilai kehidupan kepada seorang anak manusia, yang diibaratkan benih manusia. Misi utama lembaga pendidikan adalah mengajarkan budi pekerti, etika, saling mengalah dan mendulukan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi. Hal ini diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam keluarga maupun dalam masyarakat. Setelah itu institusi dan tenaga pendidik baru akan mengajarkan keterampilan yang membuat benih manusia itu mampu menyokong hidupnya sendiri di masa depan.

Sejenak kita renungkan riwayat Ibnu Abbas RA yang mengangkat sebuah hadits Nabi yang monumental untuk para pendidik: “Muliakanlah anak-anakmu dan ajarkanlah mereka budi pekerti yang luhur

Memancing

Mancing, lebih tepatnya memancing adalah salah satu hobi yang identik dengan kaum Adam, tapi tak sedikit kaum Hawa berkecimpung di dalam hobi tersebut. Kolam, empang, danau bahkan lautan menjadi tempat favorit para pemancing. Namun ketika mendengar kata “mancing” yang terbesit dalam pikiran mayoritas kita adalah kegiatan atau hobi yang hanya membuang-buang waktu saja.

Memancing itu, Subhanallah indah dan menyenangkan, begitulah kata guru saya yang merupakan seorang pemancing mania. Dan hanya bisa dirasakan oleh orang yang sudah menjalaninya. Ketika kita memancing, semua alurnya menjadi begitu jelas. Saat umpan dan joran siap, tempat dan posisi terbaik sudah kita tentukan, maka modal akhirnya adalah kesabaran. Ada kenikmatan tersendiri saat mata kail disambar ikan, dan kita menarik jorannya. Apalagi jika ikan yang didapatkan besar. Sayangnya, saat seseorang baru belajar memancing, seringnya modal akhir tadi diabaikan.

Bagi para “mancing mania” mereka merasakan bahwa saat memancing itu, dunia menjadi terang benderang, kicauan burung terdengar begitu merdu. Sepoi angin dan riak air dimaknai begitu dalam. Mendung di langit bukan masalah besar. Seolah dunia milik mereka, mengapa? Karena semuanya dinikmati. Hidup seolah baru dimulai, sejarah kesuksesan baru saja disusun.

Salah satu alat yang digunakan dalam kegiatan memancing adalah joran. Untuk mendapatkan ikan yang besar tentunya joran yang digunakan harus kuat dan berkualitas. sudah barang tentu yang berkualitas itu butuh dana yang lebih besar; meski tak selamanya yang berkualitas itu diukur dari besar kecilnya dana atau nominal yang dikeluarkan. Pun demikian dengan pendidikan. Pendidikan yang berkualitas, tentunya tak bisa hanya diukur dengan besar kecilnya dana yang dikeluarkan.

Dalam konteks kekinian, ada benarnya ungkapan “Beri anak-anakmu kail pancing, jangan ikannya.” Di bawah payung pendidikan yang benar, mendidik anak saat ini akan menjadikan embrio-embrio kebaikan pada diri seseorang lahir, tumbuh, dan membiak dalam wujud nyata amal-amal baik. Dimana semuanya bisa dilakoni dengan riang dan ringan hati. Sehingga baik disadari maupun tidak, mendidik itu menjadi nilai plus bagi kepribadian seseorang, baik secara lahir, maupun batin.

Mengacu ada konsep keberbakatan dalam pendidikan anak, Gagne amat membedakan keberbakatan intelektual (gifted) dan perolehan hasil belajar skolastik. Sementara keberbakatan lainnya (talented) menurut Gagne terkait dengan kualitas kepemimpinan, kinerja mekanik, keterampilan manipulatif dan ekspresi seni musik, literatur serta hubungan kemanusiaan dan kemajuan kemanusiaan lainnya (Khatena, J.1992). Dengan demikian giftedness adalah serasi dengan kompetensi atau aptitude di atas rerata dalam berbagai kemampuan manusia, sedangkan talent adalah situasi tampilnya kinerja atau kemampuan diatas rata-rata dalam berbagai aktivitas. Aptitude terbagi dalam empat kategori, yaitu intelektual, kreatif, sosioafektif dan sensorimotorik sedangkan talent terbagi dalam lima kategori yaitu akademik, teknik artistik, inter-personal dan atletik, (Gagne,F dalam Colangelo & Davis, l991). Aptitude banyak menunjuk pada proses terwujudnya sesuatu sevagai ciri seseorang dan banyak dipengaruhi oleh potensi herediter, sedangkan talent menunjuk pada hasil daripada suatu kegiatan manusia yang diwarnai oleh konteksnya dan setelah dilatih dan dididik memperlihatkan aktualisasi. Aptitude sebaiknya diidentifikasi melalui tes psikologi sedangkan talent ditandai melalui kinerja atau pertunjukan tertentu (Gagne dalam Colangelo, Davis, l991)

Mengutip perkataan  Ratih Ibrahim, Psikolog, Direktur Personal Growth, Counseling & Development Centre bahwa pada prinsipnya, anak life-ready adalah anak yang memiliki kompetensi individual dan sosial. Tanpa mengesampingkan takdir, dalam setiap nadi kehidupan akan selalu ada dua sisi mata koin yang berbeda. Sebagaimana kita pahami, bahwa setiap bentuk kelumrahan, ada pengecualian---anomalinya. Selain itu, ada takdir Illahi disana. Dimana takdir selalu lebih unggul dalam setiap kenyataan! Tidak setiap impian dalam proses pendidikan dan mendidik secara berkualitas bisa secara totalitas terwujud. Ada cacat, ada kegagalan.

Kata orang, terjun dalam dunia pendidikan adalah perjuangan, benarkah? Apakah setiap kita saat ini, juga merasakan jika hidup yang sedang kita lakoni ini merupakan sebentuk perjuangan? Termasuk masa depan pendidikan kita yang dilingkupi tebalnya kabut misteri? Jika demikian, berarti hidup memang perjuangan. Karena kita selalu dihadapkan pada pilihan-pilihan. Karena memang begitulah hukum dan watak yang berlaku dalam kehidupan. Ada karakter baik yang berlawanan dengan karakter buruk. Ada sifat amarah yang bertolak belakang dengan sifat sabar. Dan, ada cinta yang berkontradiksi dengan benci.

Di antara keistimewaan mereka para pendidik seharusnya adalah hatinya yang selalu bergantung kepada Tuhan. Kesejukan jiwa dan ketenangan hati seorang pendidik bisa dilihat oleh mereka yang senantiasa tegar dalam menghadapi cobaan lika-liku pendidikan, terlebih terpaan-terpaan badai pendidikan. Ada benang merah yang ingin saya simpulkan, bahwa dalam proses merajut benang-benang pendidikan agar bisa menjadi kain tenun yang siap pakai, dibutuhkan tempaan kedewasaan dan kesiapan untuk menjadi dewasa. Kedewasaan yang saya maksud adalah dalam me-menej IQ, EQ, dan SQ.

Bermain Layang-Layang

Diantara kita pasti pernah merasakan senangnya bermain layang-layang. Berlari di tanah lapang, entah bersama orangtua, saudara, ataupun teman-teman sepermainan. Semuanya membuat memori masa kecil begitu bermakna. Tahukah kita bahwa ada beragam filosofi pendidikan berharga yang bisa kita petik dari bermain layang-layang? Menerbangkan layang-layang adalah perihal memainkan momentum. Sama halnya dengan kesuksesan pendidikan, kita harus tahu momentum yang tepat untuk mendapatkannya.

Layang-layang yang terbang seimbang akan lebih kokoh mengudara dan tidak mudah oleng atau dikalahkan oleh layang-layang lawan. Selain angin, keseimbangan terbangnya layang-layang juga ditentukan oleh rangka layang-layang itu sendiri. Apakah sudah seimbang beratnya antara kiri dan kanan? Jika belum, bukan berarti kita harus membuang layang-layang tersebut, namun kita harus berusaha menyeimbangkan rangka layang-layang tersebut. Begitu pula dalam aspek pendidikan kita, jadilah seimbang. Seimbang antara keinginan dan kebutuhanmu dalam pendidikan itu sendiri.

Menurut Gagne, ada tiga fase utama menandai perkembangan manusia yaitu masa progresif (0 sampai dengan kurang lebih 20 tahun), masa stabil (21 sampai dengan kurang lebih 70 tahun), dan masa regresif (kurang lebih 71 tahun ke atas). Setiap masa itu dibagi lagi ke dalam penggolongan-penggolongan yang mempunyai ciri-ciri khusus. Namun selain mempunyai karakteristik tertentu, perkembangan manusia juga memiliki masa kritis.

Terdapat tiga masa kritis yang dilalui oleh manusia, yaitu: masa krisis pertama, terjadi pada umur kurang lebih 3 sampai dengan 5 tahun, dimana terjadi masa keras kepala. Masa krisis kedua terjadi pada usia remaja, yaitu pada umur kurang lebih 14 sampai dengan 18 tahun dimana terjadi gejolak kehidupan emosional dan konfrontasi dari keinginan untuk bebas mandiri pada satu pihak, dan pada pihak lain ketidak mampuan mandiri dalam arti ekonomis. Gejolak tersebut ibarat badai yang mendera  dan mencakup berbagai dorongan dalam dirinya. Masa kritis ketiga adalah bila seseorang merasa menjadi tua, tetapi tidak ingin menjadi tua. Tiap rentang masa terdapat momentum yang tepat bagi pendidikan untuk menjadi daya pendorong sekaligus alat kontrol perbaikan masyarakat.

Saat kita terlalu tergesa-gesa menarik layangan untuk turun, kemungkinan besar benang layangmu akan tertumpuk begitu saja di belakangmu. Alhasil benang tersebut akan ruwet dan sulit untuk kamu benahi kembali. Sama halnya dengan pendidikan. Jika kita terlalu tergesa-gesa menikmati hasil pendidikan, besar risikonya akan menghadapi keruwetan-keruwetan pikiran. Maka taruhlah dirimu di luar sana, rasakan naik-turunnya dihantam gelombang kehidupan, dan berbahagialah karena pengalaman itulah yang membuatmu menjadi manusia yang seutuhnya.

Pendidikan adalah sebuah proses tempaan batin. Dari suatu hal yang tidak kita percayai menjadi sebuah hal yang paling diyakini. Dari hal yang kita benci menjadi yang paling dicintai. Proses menempa pendidikan bekualitas adalah proses unik. Proses yang membutuhkan energi yang luar biasa. Karena proses itu tidak mengenal waktu dan musim. Lahir dalam setiap jeda waktu.(Aris SetiawanPenulis adalah Pendidik, Mahasiswa Program Doktor Manajemen Pendidikan UNMUL)